Sabtu, 14 Maret 2009

KISAH PAKU DAN PAGAR

Di suatu kampung adalah seorang kaya bernama Tuan Kaya. Tetapi ia juga di kenal sombong dan sering menghina dan menyakiti orang lain. Banyaklah orang-orang yang telah dihina dan disakitinya. Tiada hari ia lewati tanpa menyakiti orang lain. menunjukkan kesombongan dan kekayaannya. Bahkan terhadap saudara-saudaranya pun ia menyombongkan diri.

Pada suatu malam ia berangkat tidur. Di tempat tidur pikirannya menerawang mengingat-ingat kejadian sepanjang hari dan hari-hari yang telah ia lalui. Lalu bibirnya tersenyum licik membayangkan bahwa telah banyak ia menyombongkan diri. Ada garis-garis kebanggaan pada dirinya sendiri. Bagaimana orang-orang datang meminta bantuaanya tetapi ia beri dengan penghinaan yang menyakitkan..Lalu ia juga membayangkan diri sendiri yang sangat berkecukupan. Bagaimana ia tidak pernah meminta bantuan orang lain. Ha-ha-ha…aku ini hebat, pikirnya.

Lalu entah kenapa, sesaat sebelum tertidur tiba-tiba seberkas tanya menyelip dalam pikiran Tuan Kaya. “Bagaimana kalau sekali-sekali aku berbuat baik?”. Pikirannya lalu mencoba mengingat kapan ia terakhir berbuat baik. Dalam usahanya mengingat-ingat itu, ia pun tertidur.

Esok harinya ia berangkat ke suatu desa untuk menghadiri pesta pernikahan saudarnya. Dengan gaya duduk yang pongah di atas kuda ia melintasi desanya dengan pakaiannya yang sangat indah. Orang-orang sedesanya berdiri dari kejauhan memandangi dengan penuh kekaguman dan juga kepedihan.

Sesampai di desa saudaranya Tuan Kaya di sambut baik seperti orang-orang lain yang datang. Di tengah-tengah pesta ia mengamati semua yang terjadi. Ia mengamati begitu banyak tamu yang datang. Orang-orang kaya dan orang-orang miskin dalam pesta itu tampak gembira. Semuanya duduk bersama tanpa dibeda-bedakan. Orang-orang miskin dan orang-orang kaya makan dengan lahap. Tuan Rumah memandangi semuanya dengan senyum tulus. Bahkan tamu-tamu diberi uang dan bungkusan makanan ketika hendak pulang.

Tuan Kaya mengamati semua itu dengan seksama. Wajah-wajah tamu dan wajah tuan rumah sama-sama ceria. Dan entah mengapa Tuan Kaya merasa tahu bahwa wajah-wajah tersebut adalah wajah-wajah kebaikan yang tulus. Ketika pulang pikiran-pikiran tentang yang terjadi di pesta merasukinya. Sepanjang jalan ia merenungi kebaikan dan ketulusan orang-orang. Lalu ia merenungi diri sendiri. Tuan Kaya merasa pikirannya seperti terhenyak. Sepanjang jalan hingga sampai ke halaman rumahnya ia tak henti-henti memikirkan tentang kebaikan dan ketulusan, juga tentang keadaan diri sendiri. Di dalam rumah ia tetap diam memikirkan semuanya. Tuan Kaya menjadi terobsesi akan kebaikan dan ketulusan.

Ia melewati hari-hari dengan usaha-usaha untuk berbuat baik. Akan tetapi sia-sia. Ketika ia berjumpa dengan orang-orang lain, kata-kata dan raut wajah penghinaanlah yang ia munculkan. Ia menjadi tersiksa. Obsesi yang luar biasa memenuhi pikirannya. Akhirnya ia memutuskan.

Tuan Kaya pergi ke sebuah rumah di ujung desa. Rumah yang berada di tengah-tengah kesejukan pohon-pohon. Rumah itu dihuni oleh seorang kakek tua. Di kampung itu ia dikenal sebagai Guru. Guru dalam segala hal. Guru menyambut Tuan Kaya dengan wajah-senyuman dan tatapan mata secerah mentari.

Guru: ”..ada angin apa tiba-tiba Tuan Kaya bertandang ke gubuk kami?”.
Lalu Tuan Kaya menceritakan semua yang menggangu pikirannya. Ia menceritakan tanpa menutupi semau yang telah dilaluinya. Setelah Tanya jawab dan pembicaraan yang cukup dalam akhirnya Tuan Kaya berkata…

Tuan Kaya: ”Jadi, Guru, aku ingin sekali bisa berbuat baik. Bisa tersenyum dengan senyuman seperti senyum Guru ini.
Guru: “Baiklah. Begini… Tuan Kaya kan rumahnya dipagari…
Tuan Kaya: “Betul Guru…
Guru: “Pulanglah sekarang dan belilah paku…Setiap Tuan Kaya berbuat sesuatu yang menyakitkan orang lain…setiap Tuan Kaya menghina orang lain maka pakulah pagar rumahmu..lakukan terus seperti itu…satu paku untuk satu perbuatan yang menghina atau menyakiti orang lain…terus lakukan sampai pagar rumahmu penuh terpaku…setelah penuh maka Tuan Kaya boleh datang lagi ke sini…

Tuan Kaya pun pulang lalu membeli paku.
Ketika ia menyakiti orang maka ia pulang dan memaku pagar rumahnya. Tiada hari yang lewat tanpa ia memku pagar rumanhya. Jadi setiap hari Tuan Kaya selalu memaku pagar rumahnya karena setiap hari ia selalu menyakiti orang lain. Akan tetapi obsesinya tentang kebaikan hati semakin kuat. Maka pagar itupun penuh dengan paku. Tuan Kaya pun pergi ke rumah Guru.

Tuan Kaya: “Guru, pagar rumahku telah penuh dengan paku…tetapi aku belum juga mampu berbuat baik…
Guru: “Jadi pagar itu telah penuh dengan paku?”.
Tuan Kaya: “Betul Guru..”.
Guru: “Dan Tuan Kaya masih berkeinginan untuk berbuat baik?”.
Tuan Kaya: “Iya. Betul Guru”.
Guru: “Tuan Kaya, sekarang pulanglah…laluilah hari-harimu…jika ada satu kebaikan yang Tuan Kaya perbuat dengan tulus maka cabutlah satu paku. Lalu jika ada lagi perbuatan baik yang Tuan Kaya lakukan maka cabut lagi satu paku. Lakukan seperti itu terus-menerus. Satu kebaikan untuk mencabut satu paku. Jika semua paku di pagar rumah Tuan Kaya telah tercabut maka Tuan Kaya boleh datang lagi ke sini..”

Tuan Kaya pun pulang. Di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang ibu tua yang nampaknya tersiksa dengan beratnya kayu bakar yang dibawanya di pundaknya. Tuan Kaya mengamatinya. Tiba-tiba ia teringat dengan paku yang memenuhi pagar rumahnya. Dengan suatu gemuruh di hati yang baru kali ini dirasakannya ia menghampiri ibu yang membawa kayu bakar itu. Setelah sejenak pembicaraan dan sedikit desakan Tuan Kaya lalu menolong membawa kayu bakar si ibu tadi. Ia mengikuti langkah-langkah si ibu yang terheran-heran menuju kampung. Sesampai di kampung, penduduk seluruh kampung termangu-mangu dengan kejadian ini. Di depan rumah si ibu, Tuan Kaya meletakkan kayu bakar itu. Ia memberi senyuman-mengangguk lalu beranjak pulang. Dengan penuh semangat ia mencabut satu paku yang menancap dipagar rumahnya.

Hari demi hari ia berjumpa dengan orang lain. Dan hari demi hari pula banyak paku yang sudah dicabutnya dari pagar rumahnya. Orang-orang yang mengenalnya gamang dengan perubahan Tuan Kaya. Tetapi Tuan Kaya dengan senyuman yang tulus tiada henti berbuat baik. Akhirnya paku-paku yang menancap pagar rumahnya telah habis. Pagar rumahnya sekarang penuh dengan lobang-lobang bekas paku. Tuan Kaya pun dengan semangat pergi ke rumah Guru.

Tuan Kaya: “Guru, paku-paku di pagar rumahku sudah habis…”
Guru: Oh, betulkah..?”
Tuan Kaya: “Betul Guru”.
Guru: “Jadi sekarang pagarnya seperti apa?”
Tuan Kaya: “Jadi berlobang-lobang Guru..”.

Guru diam. Ia memejamkan matanya. Lalu berkata..

Guru: “Tuan Kaya, dulu engkau di kenal orang dengan segala kesombonganmu. Tidak ada perbuatan baik yang engkau lakukan. Sekarang ini engkau berbuat baik. Perbuatan baikmu ini akan diterima orang dengan baik. Orang lain akan sangat berterima kasih dengan kebaikan hatimu. Bahkan mungkin mendoakanmu. Akan tetapi Tuan Kaya, bagaimanapun engkau berbuat baik…setulus apapun kebaikan hatimu yang engkau tawarkan pada orang lain…tidak akan pernah orang-orang lain itu lupa bahwa kamu pernah begitu sombong…orang-orang akan tetap menerima kebaikanmu dengan juga mengingat keculasanmu dulu. Sama seperti paku-paku yang menancap di pagar rumahmu. Ketika engkau mencabut semua paku-paku di pagar rumahmu akan menyisakan lobang-lobang bekas paku. Lobang-lobang itu jelas terlihat. Jadi Tuan Kaya, rawatlah pagarmu yang berlobang-lobang itu. Rawatlah perbuatan-perbuatan baikmu itu. Rawatlah ketulusan hatimu itu. Sebagus apapun engakau menutupi atau memperbaiki lobang-lobang bekas paku di pagar rumahmu, bekas-bekas lobang itu akan tetap ada. Orang-orang akan tetap ingat bahwa lobang-lobang itu ada. Jadi Tuan Kaya, sekarang engkau pulanglah. Berbuat baiklah sepanjang hidupmu. Rawatlah semua kebaikan dan ketulusanmu itu dengan kebaikan dan ketulusan…

Tidak ada komentar: